ADHD: Memahami Mereka yang Berbeda

Oleh: dr. Jessica Gabriana

Apa itu ADHD?

Semua orang bisa mengalami kesulitan untuk duduk tenang dalam waktu yang lama, memusatkan perhatian atau mengontrol perilaku impulsif, setidaknya sekali dalam hidupnya. Untuk sebagian orang, masalah ini bisa berkelanjutan dan mempengaruhi setiap aspek dalam hidupnya seperti di rumah, pekerjaan, tingkat akademi dan interaksi sosial.

Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau ADHD adalah gangguan perkembangan otak yang kompleks yang menyebabkan kesulitan dalam memfokuskan dan mengelola banyak aspek kehidupan sehari-hari, meskipun tidak jarang mereka dengan kondisi tersebut dapat fokus pada tugas-tugas lain dengan baik. Dengan kata lain, ADHD berdampak pada fungsi eksekutif yang diperlukan untuk menilai, merencanakan, dan melaksanakan kehidupan.

Fungsi ini memungkinkan seseorang untuk mengevaluasi setiap tindakan yang sudah dan akan mereka lakukan, efek jangka pendek dan jangka panjang yang mungkin terjadi.

Gejala Utama

Tiga gejala utama yang masih dijadikan sebagai pedoman dalam mengenali anak dengan ADHD, yaitu:

1. Kesulitan memusatkan perhatian

2. Hiperaktivitas

3. Impulsivitas

Kesulitan memusatkan perhatian/inatensi, menurut para ahli saat ini bukan lagi istilah yang tepat. Kesulitan dalam mengatur/mengontrol perhatian mungkin merupakan deskripsi yang lebih akurat karena kebanyakan anak dengan ADHD memiliki lebih dari cukup perhatian, hanya tidak dapat memanfaatkannya pada arah yang benar dan pada waktu yang tepat tanpa adanya konsistensi.

Tipe ADHD

ADHD dapat hadir dalam dua cara yang berbeda, atau kombinasi keduanya. Orang dengan subtipe hiperaktif-impulsif bertindak akibat dorongan aktivitas motorik – bergerak dan berbicara pada saat yang tidak tepat. Mereka impulsif, tidak sabar, dan mengganggu orang lain. Disini kita bisa memahami istilah “bertindak sebelum berpikir” secara nyata. Sedangkan orang dengan subtipe inatensi jadi lebih mudah teralihkan dan pelupa. Disinilah kita mengetahui bahwa ADHD bukanlah sistem saraf yang rusak melainkan sistem saraf yang berfungsi baik dengan menggunakan aturannya sendiri.

Kebanyakan anak dengan ADHD tahu kalau mereka berbeda. Mereka diberitahu oleh orang tua, guru, dan teman-teman bahwa mereka tidak seperti orang normal. Ibaratkan seorang imigran, mereka diminta untuk cepat beradaptasi dengan budaya baru dan menjadi seperti orang lain.

Mereka diajarkan untuk menjadi sama seperti orang pada umumnya. Ironinya adalah hal ini tidak bisa dilakukan, tidak peduli seberapa keras mereka mencoba. Satu-satunya hasil adalah kegagalan, diperparah oleh tuduhan bahwa mereka tidak akan pernah berhasil karena mereka tidak berusaha cukup keras. Hambatan utama untuk memahami dan mengelola ADHD adalah asumsi yang mengatakan bahwa ADHD bisa dan seharusnya seperti kita semua.

Mereka punya aturan sendiri

Ada segelintir pertanyaan yang sering membuat orang sulit menghadapi mereka dengan ADHD. Mengapa mereka tidak bisa menentukan prioritas dan berorganisasi, sensitif, tampak kelelahan, kadang pelupa, hingga tidak mampu menjaga diri mereka sendiri.

Kunci terpenting untuk memahaminya adalah menerima kalau mereka berbeda. Mereka mempunyai sistem penerimaan informasi di otak dengan caranya sendiri. Misalkan anak dengan ADHD pulang ke rumah dan mengatakan pada ibunya kalau dia tidak memiliki tugas. Lalu menghabiskan waktu seharian menonton TV dan ketika saatnya tidur, ia baru teringat kalau ada tugas yang harus dikumpulkan esok hari. Apakah anak ini secara sadar berbohong kepada ibunya atau dia memang tidak menyadarinya?

Tidak heran jika rata-rata orang dengan ADHD tidak dapat mengakses informasi yang tepat pada saat dibutuhkan apalagi untuk menentukan prioritas. Bagi mereka waktu adalah sekarang, tidak ada konsep masa lalu atau melihat masa depan. Itulah mengapa mereka mengalami kesulitan belajar dari pengalaman dan terlibat dalam organisasi menjadi tugas yang tidak berkelanjutan karena berorganisasi berarti terpaku pada sistem, prioritas dan waktu.

Aspek emosional adalah bagian yang telah diabaikan oleh banyak peneliti karena aspek ini tidak dapat diukur pada ADHD. Namun, gangguan emosional adalah aspek yang paling merusak kondisi ini. Hal ini dikarenakan mereka masih dibayangi oleh konsep penerimaan orang lain. Ketika orang dengan ADHD melihat dirinya sebagai orang yang tidak dapat dipercaya, mereka mulai meragukan bakat mereka dan merasa malu karena tidak dapat diandalkan.

Penolakan sangat mempengaruhi orang ADHD. Frustrasi dan rendah diri menjadi risiko jangka pendek. Sedangkan perubahan kepribadian akan mempersulit kondisi mereka di masa mendatang. Efek jangka panjang pada kepribadian mereka adalah menjadi “people pleaser”, berbuat segala sesuatu untuk memastikan bahwa orang lain menerima mereka. Atau sebaliknya mereka menolak untuk melakukan apa pun sebelum yakin kalau mereka akan sukses. Hal ini membuat hidup mereka terbatas dan tidak berkembang.

Orang dengan ADHD memiliki dunia mereka yang terus-menerus diinterupsi oleh pengalaman yang tidak dimengerti oleh orang normal. Interupsi ini membuat stigma bahwa orang dengan ADHD sebagai pribadi yang aneh, selalu menentang dan butuh perhatian ekstra. Tapi ini semua bagian dari mereka, hal yang normal bagi mereka. Mereka memiliki gagasan menjadi berbeda dan perbedaan ini seharusnya tidak menjauhkan mereka dari sekitarnya. Karena berbeda kita menjadi mengerti.

Referensi

  1. ADHD NRCo. About ADHD: Overview: Disease Control and Prevention; 2018 [Available from: https://chadd.org/about-adhd/overview/ Diakses pada 3 November 2018.
  2. ADHD NRCo. Executive function skills 2018 [Available from: https://chadd.org/about-adhd/executive-function-skills/ Diakses pada 3 November 2018.
  3. Adiputra I, Sutarga I, Indraguna P. Faktor Risiko Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) pada Anak di Denpasar. Public Health and Preventive Medicine Archive. 2015;3:44.
  4. editors A. Everything You Need to Know About ADHD 2018 [Available from: https://www.additudemag.com/what-is-adhd-symptoms-causes-treatments/ Diakses pada 4 November 2018.
  5. Dodson W. Secret of the ADHD Brain. New York: New Hope Media; 2016.