Anak dengan Disleksia Bukanlah Anak yang Bodoh

Oleh: dr. Valerie Adriani

Mengapa anak saya belum bisa membaca dan menulis? Mengapa dia kesulitan mengikuti pelajaran di sekolah? Apakah anak saya malas? Mungkin pikiran-pikiran itu yang berkecamuk dalam benak para orang tua. Seringkali orang tua kebingungan dan tidak mengetahui bahwa ternyata anaknya mengidap disleksia. Disleksia umumnya diketahui saat anak menginjak usia sekolah. Masalah kesulitan belajar membaca, mengolah kata, tulisan yang jelek dan berantakan adalah hal yang sering dikeluhkan orang tua maupun pengajar. Sehingga banyak orang beranggapan bahwa anak dengan disleksia kurang cerdas atau malas, padahal hal tersebut tidak ada hubungannya sama sekali. Meski demikian, anak-anak dengan disleksia memiliki tingkat kecerdasan yang normal atau justru dapat diatas rata-rata. Bahkan beberapa tokoh maupun ilmuwan-ilmuwan dunia mengidap disleksia pada masa kanak-kanak.

Apa itu disleksia?

Dyslexia berasal dari kata Yunani (Greek), “dys” berarti kesulitan, “lexis” berarti kata-kata. Dengan kata lain disleksia merupakan kesulitan yang berkaitan dengan membaca, menulis, mengeja, dan pada beberapa kasus terdapat gejala penyerta, seperti kesulitan dengan angka, fungi koordinasi maupun keterampilan motorik. Hal ini disebabkan oleh adanya kelainan neurologis yang kompleks, kelainan struktur dan fungsi otak, sehingga mempengaruhi cara otak dalam memproses kata-kata tertulis dan lisan. Seorang anak disleksia perlu mengambil lebih banyak waktu untuk memproses informasi ketika berbicara atau membaca.

Mengenali tanda-tanda disleksia pada anak usia dini

Anak dengan disleksia biasanya mengalami beberapa masalah sebagai berikut :

1. Masalah fonologi: Yaitu hubungan sistematik antara huruf dan bunyi. Misalnya, sulit membedakan ”paku” dengan ”palu”; atau keliru memahami kata-kata yang mempunyai bunyi hampir sama, misalnya ”tiga puluh” dengan ”tiga belas”. Kesulitan ini tidak disebabkan masalah pendengaran, tetapi berkaitan dengan proses pengolahan input di dalam otak.

2. Masalah dalam membaca dan menulis: Anak lambat dalam mempelajari abjad, sering salah saat membaca ataupun mengeja, tulisan tidak rapi, terbalik-balik, dan lamban dalam menulis. Terkadang anak dengan disleksia juga mengalami kesulitan dalam berhitung.

3. Masalah mengingat perkataan: Anak sulit mengingat perkataan, dan mungkin sulit menyebutkan nama teman-temannya dan memilih untuk memanggilnya dengan istilah “temanku di sekolah” atau “temanku yang perempuan itu”. Mereka mungkin dapat menjelaskan suatu cerita, tetapi tidak dapat mengingat jawaban untuk pertanyaan yang sederhana.

4. Masalah penyusunan yang sistematis atau berurut: Anak disleksia sulit menyusun sesuatu secara berurutan misalnya susunan bulan dalam setahun, hari dalam seminggu, atau susunan huruf dan angka. Mereka juga sering tidak mengingat susunan aktivitas yang sudah direncanakan sebelumnya.

Apa penyebab disleksia?

Beberapa teori tentang penyebab disleksia telah dikembangkan, namun hingga kini belum dapat diketahui secara pasti penyebab dari disleksia. Diketahui teori genetik disebut menjadi salah satu pemicu kondisi ini. Keluarga yang memiliki riwayat disleksia memiliki potensi besar menurunkan kondisi tersebut. Berbagai penelitian melaporkan bahwa faktor genetik berperan signifikan pada kejadian disleksia. Orang tua yang penyandang disleksia, dilaporkan sekitar 50% anak-anaknya juga menyandang disleksia, dan jika salah satu anak adalah penyandang disleksia dilaporkan 50% saudara kandungnya juga menyandang disleksia. Selain faktor keturunan, penyebab disleksia adalah gangguan yang dialami anak setelah mereka dilahirkan seperti cedera otak, atau trauma lainnya.

Bagaimana cara mendampingi anak dengan disleksia?

Anak dengan disleksia mungkin menjadi kurang percaya diri dan tertekan karena kurangnya kemampuan membaca dan menulis nya dibandingkan dengan teman-teman sebaya nya, maka dari itu orang tua maupun guru harus selalu memotivasi mereka agar membangkitan kepercayaan diri anak dan tidak mudah menyerah. Selain itu, di rumah, orangtua dapat membacakan buku, dan juga mendampingi anak dalam proses belajarnya. Untuk para guru di sekolah sebaiknya dapat lebih memahami anak dengan disleksia, memberikan toleransi saat anak memerlukan waktu lebih lama untuk menulis dan belajar, memberikan materi secara bertahap, sedikit demi sedikit, mengulang-ngulang bagian yang menjadi kesulitan anak tersebut, dan membimbing mereka dengan lebih sabar.

Referensi

  1. International Dyslexia Association (IDA). 2017. Dyslexia in the Classroom, What Every Teacher Needs to Know. https://dyslexiaida.org/wp-content/uploads/2015/01/DITC-Handbook.pdf. Diakses November 2018.
  2. Flecther, JM. (2009). Dyslexia: The Evolution of a Scientific Concept. Journal of the International Neuropsychological Society, 15(4), pp. 501-508
  3. Susan C, Lowell, M.A. 2014. Basic Facts About Assessment of Dyslexia. 1st edition. 978-0892140688
  4. [Asosiasi Disleksia Indonesia]. Kristiantini, Dewi. 2015. Disleksia: Strategi Mengatasi Kesulitan Belajar Disleksia. http://repository.upy.ac.id/407/1/artikel%20kristiantini.pdf. Diakses November 2018.